PENDIDIKAN ANAK DIFABEL

7 Anak Berkebutuhan Khusus Yang Berprestasi

Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan kita. Pendidikan mengajarkan kita belajar semua ilmu. Dengan ilmu kita bisa merubah pola pikir kita. Setiap manusia khususnya masyarakat Indonesia berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan melepaskan kita dari kungkungan pikiran, memaksa kita untuk berpikir lebih bijak, dan mempertanyakan suatu hal yang memang wajib kita pertanyakan. Hal ini membuat kita sadar akan hak-hak kita di masyarakat.

Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, menteri pendidikan pertama nasional Republik Indonesia  melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologinya. Menurut Ki Hajar Dewantara manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, rasa, dan karsa. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.

Seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu ‘educate the head, the heart, and the hand’.

Nilai-nilai kemanusiaan yang kurang humanis dalam pendidikan memunculkan kondisi yang memprihatinkan bagi anak-anak difabel.

 

Konsep Difabel

Istilah difabel merupakan kependekan dari istilah ‘different abilities people’  (orang dengan kemampuan khusus atau berbeda). Dengan istilah difabel, masyarakat diajak untuk merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan menjadi pemahaman terhadap difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula.

Dengan pemahaman baru seperti itu masyarakat diharapkan tidak lagi memandang rendah  difabel sebagai manusia yang hanya memiliki kekurangan dan ketidakmampuan. Sebaliknya, para difabel, sebagaimana layaknya manusia umumnya, juga memiliki potensi dan sikap positif terhadap lingkungannya. Difabel masih memiliki kemampuan dalam berpikir, berpendapat, bermental kuat, dan berbakat dalam minatnya masing-masing.

Undang-Undang

a.       UUD 1945 Pasal 28 C ayat (1)

“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

b.      UUD 1945 Pasal 31 ayat (1)

“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

c.       UU Sisdiknas Pasal 1 ayat (2)

“Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

d.      UU Sisdiknas Pasal 4 ayat (1)

“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

e.       UU Sisdiknas Pasal 5 mengenai Hak dan Kewajiban Warga Negara

(1)   Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

(2)   Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

 

Semua anak bangsa Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak untuk didiskriminasikan. Hal itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar seperti uraian di atas. Anak-anak difabel, anak dengan keterbatasan fisik atau mental, juga dijamin oleh pemerintah hak pendidikannya.

Hak pendidikan ini juga berlaku kepada orang berkebutuhan khusus yang biasa disebut difabel. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.

Pada pasal 28 C Undang-undang Dasar 1945 pun dikatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, sehingga jelas disini kewajiban generic negara dalam pemenuhan hak pendidikan adalah memfasilitasi (to facilitate), memajukan (to promote), menginformasikan (to inform), dan menyediakan (to offer).

UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan hak setiap warga negara untuk memperolah pendidikan sesuai dengan jenjang, jalur, satuan, bakat, minat, dan kemampuannya tanpa diskriminasi. Dengan kata lain, dalam sektor pendidikan formal seharusnya tidak ada lagi sekat sosial yang membedakan para difabel dengan masyarakat umum. Orang tua bisa mendaftarkan anak difabel mereka ke sekolah umum dan orang tua tidak perlu khawatir dan cemas karena anak-anak mereka sudah di lindungi oleh hukum. UU Nomor 4 Tahun 1997 pasal 12 mewajibkan lembaga-lembaga pendidikan umum menerima para difabel sebagai siswa. Kewajiban seperti inilah yang disebut sebagai model inklusi. Model inklusi adalah peluang bagi terjadinya interaksi sosial antara para difabel dan masyarakat pada umumnya. Dan belum banyak difabel yang mengakses sekolah model inklusi akibat minimnya informasi mengenai sekolah inklusi, ketiadaan biaya, infrastruktur yang kurang mendukung, keterbatasan guru yang mumpuni, dan pemahaman tambahan untuk melayani anak dengan kondisi khusus. Kondisi kultural budaya masyarakat kita menganggap anak-anak cacat ini sebagai anak yang kurang normal dan cenderung ‘menyembunyikan’ anak difabel karena dianggap sebagai aib, dan dengan kondisi yang seperti itu banyak orang tua yang malu untuk mengembangkan potensi anaknya. Saatnya pemerintah mengatasi hambatan dan tantangan pendidikan bagi kaum difabel. Program pelatihan bagi guru agar memiliki kompetensi memadai adalah program yang pertama yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan untuk meningkatkan dan memajukan anak-anak. Pemerintah juga harus menyediakan fasilitas, layanan dari profesional, tenaga ahli, terapis, dan guru pembimbing khusus di sekolah-sekolah inklusi. Tak kalah penting, subsidi ongkos penyelenggaraan pendidikan bagi difabel juga harus menjadi perhatian utama pemerintah. Anggaran 20% saya yakin cukup untuk sedikit meringankan beban mereka. Koordinasi intensif antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat juga dibutuhkan. Juga peran dari orang tua langsung. Pemerintah daerah perlu menerbitkan kebijakan peraturan daerah terkait kewajiban sekolah-sekolah umum agar menerapkan sistem pendidikan inklusi. Sehingga mereka dapat belajar bersama sebagai kader bangsa.

Masyarakat harus disadarkan bahwa difabel bukan cacat atau tidak normal sebagai kekurangan. Mereka adalah anak bangsa yang unggul dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula. Pendidikan ramah difabel adalah pemerataan pendidikan yang akan melahirkan tunas-tunas baru yang unggul dan berprestasi. Saya mengajak semua insan dunia bahwa difabel tidak pernah meminta terlahir sebagai anak manusia yang difabel. Tetapi difabel akan menjadi pendobrak paradigma klasik, serta  pengakuan setinggi-tingginya sebagai manusia seutuhnya.

Orang tua harus tetap sabar dan isiqomah bahwasanya dengan adanya anak difabel, bapak dan ibu insyaallah mendapakan peluang besar untuk mendapat tiket memasuki surga Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda “semoga Allah SWT merahmati orang tua yang membantu anaknya di atas kebaikan,”(H.R. Ibnu Hibban).

Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan bijaksana.

Comments

Popular posts from this blog

WAWASAN NUSANTARA

PELANGGARAN HAM

PERAN SERTA WARGA NEGARA DALAM MENJAGA PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA