PENDIDIKAN ANAK DIFABEL
Pendidikan merupakan hal yang
terpenting dalam kehidupan kita. Pendidikan mengajarkan kita belajar semua
ilmu. Dengan ilmu kita bisa merubah pola pikir kita. Setiap manusia khususnya
masyarakat Indonesia berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan melepaskan kita
dari kungkungan pikiran, memaksa kita untuk berpikir lebih bijak, dan
mempertanyakan suatu hal yang memang wajib kita pertanyakan. Hal ini membuat
kita sadar akan hak-hak kita di masyarakat.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli
Indonesia, menteri pendidikan pertama nasional Republik Indonesia melihat manusia lebih pada sisi kehidupan
psikologinya. Menurut Ki Hajar Dewantara manusia memiliki daya jiwa yaitu
cipta, rasa, dan karsa. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan
semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu
daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau
mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya
akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan
sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang
memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan
menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Seseorang yang mampu berkembang
secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya mampu menghargai dan
menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah
ini sangat tepat yaitu ‘educate the head,
the heart, and the hand’.
Nilai-nilai kemanusiaan yang
kurang humanis dalam pendidikan memunculkan kondisi yang memprihatinkan bagi
anak-anak difabel.
Konsep Difabel
Istilah
difabel merupakan kependekan dari istilah ‘different abilities people’ (orang dengan kemampuan
khusus atau berbeda). Dengan istilah difabel, masyarakat diajak untuk
merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau
tidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan menjadi pemahaman terhadap
difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan
aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula.
Dengan
pemahaman baru seperti itu masyarakat diharapkan tidak lagi memandang rendah difabel sebagai manusia yang hanya memiliki kekurangan
dan ketidakmampuan. Sebaliknya, para difabel, sebagaimana layaknya manusia umumnya, juga
memiliki potensi dan sikap positif terhadap lingkungannya. Difabel masih memiliki
kemampuan dalam berpikir, berpendapat, bermental kuat, dan berbakat dalam minatnya
masing-masing.
Undang-Undang
a. UUD 1945 Pasal 28 C ayat (1)
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia.”
b.
UUD 1945 Pasal
31 ayat (1)
“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
c.
UU Sisdiknas Pasal 1 ayat (2)
“Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan
zaman.”
d.
UU Sisdiknas Pasal 4 ayat (1)
“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa.”
e.
UU Sisdiknas Pasal 5 mengenai Hak dan Kewajiban Warga
Negara
(1)
Setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu.
(2)
Warga negara
yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus.
Semua anak bangsa Indonesia
berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak untuk didiskriminasikan. Hal
itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar seperti uraian di atas. Anak-anak difabel,
anak dengan keterbatasan fisik atau mental, juga dijamin oleh pemerintah hak
pendidikannya.
Hak pendidikan
ini juga berlaku kepada orang berkebutuhan khusus yang biasa disebut difabel. Dalam Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 31 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh
pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh
kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Pada pasal 28 C
Undang-undang Dasar 1945 pun dikatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia,
sehingga jelas disini kewajiban generic
negara dalam pemenuhan hak pendidikan adalah memfasilitasi (to facilitate),
memajukan (to promote), menginformasikan (to inform),
dan menyediakan (to offer).
UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan hak
setiap warga negara untuk memperolah pendidikan sesuai dengan jenjang, jalur,
satuan, bakat, minat, dan kemampuannya tanpa diskriminasi. Dengan kata lain,
dalam sektor pendidikan formal seharusnya tidak ada lagi sekat sosial yang
membedakan para difabel dengan masyarakat umum. Orang tua bisa mendaftarkan
anak difabel mereka ke sekolah umum dan orang tua tidak perlu khawatir dan
cemas karena anak-anak mereka sudah di lindungi oleh hukum. UU Nomor 4 Tahun
1997 pasal 12 mewajibkan lembaga-lembaga pendidikan umum menerima para difabel
sebagai siswa. Kewajiban seperti inilah yang disebut sebagai model inklusi.
Model inklusi adalah peluang bagi terjadinya interaksi sosial antara para
difabel dan masyarakat pada umumnya. Dan belum banyak difabel yang mengakses
sekolah model inklusi akibat minimnya informasi mengenai sekolah inklusi,
ketiadaan biaya, infrastruktur yang kurang
mendukung, keterbatasan guru yang
mumpuni, dan pemahaman tambahan untuk melayani anak dengan kondisi khusus. Kondisi kultural budaya masyarakat kita menganggap anak-anak cacat
ini sebagai anak yang kurang normal dan cenderung ‘menyembunyikan’ anak difabel karena dianggap
sebagai aib, dan dengan
kondisi yang seperti itu banyak orang tua yang malu untuk mengembangkan potensi
anaknya. Saatnya pemerintah mengatasi hambatan dan tantangan pendidikan bagi
kaum difabel. Program pelatihan bagi guru agar memiliki kompetensi memadai
adalah program yang pertama yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan
untuk meningkatkan dan memajukan anak-anak. Pemerintah juga harus menyediakan
fasilitas, layanan dari profesional, tenaga ahli, terapis, dan guru pembimbing
khusus di sekolah-sekolah inklusi. Tak kalah penting, subsidi ongkos
penyelenggaraan pendidikan bagi difabel juga harus menjadi perhatian utama
pemerintah. Anggaran 20% saya yakin cukup untuk sedikit meringankan beban
mereka. Koordinasi intensif antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat juga
dibutuhkan. Juga peran dari orang tua langsung. Pemerintah daerah perlu
menerbitkan kebijakan peraturan daerah terkait kewajiban sekolah-sekolah umum
agar menerapkan sistem pendidikan inklusi. Sehingga mereka dapat belajar
bersama sebagai kader bangsa.
Masyarakat harus disadarkan bahwa difabel
bukan cacat atau tidak normal sebagai kekurangan. Mereka adalah anak bangsa
yang unggul dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan
cara dan pencapaian yang berbeda pula. Pendidikan ramah difabel adalah
pemerataan pendidikan yang akan melahirkan tunas-tunas baru yang unggul dan
berprestasi. Saya mengajak semua insan dunia bahwa difabel tidak pernah meminta
terlahir sebagai anak manusia yang difabel. Tetapi difabel akan menjadi
pendobrak paradigma klasik, serta pengakuan setinggi-tingginya sebagai manusia
seutuhnya.
Orang tua harus tetap sabar dan isiqomah
bahwasanya dengan adanya anak difabel, bapak dan ibu insyaallah mendapakan
peluang besar untuk mendapat tiket memasuki surga Allah SWT. Rasulullah SAW
bersabda “semoga Allah SWT merahmati orang tua yang membantu anaknya di atas
kebaikan,”(H.R. Ibnu Hibban).
Pendidikan hendaknya menghasilkan
pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya,
yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur
dan bijaksana.
Comments
Post a Comment